Birokrasi dan Pekerjaan Sosial

  1. Scientific Management (Manajemen Ilmiah)

Motivasi untuk mempelajari organisasi bisnis datang dari keinginan untuk menemukan cara meningkatkan efisiensi dan produktivitas dan menyebabkan munculnya pendekatan “manajemen ilmiah” dari F.W. Taylor dan pengikutnya, terutama dalam dekade awal abad ini (Taylor, 1911). Pendekatan ini, mengikuti pandangan dari tokoh ekonomi klasik, menekankan rasionalitas dari perilaku manusia dalam organisasi. Pekerjaan yang dilakukan didorong oleh imbalan ekonomi sehingga jika imbalan material terkait erat dengan upaya kerja, pekerja akan merespon dengan kinerja maksimal semampunya.

Kini di Amerika, organisasi industri fokus pada aspek psikologis dari efisiensi, adalah Elton Mayo, seorang psikolog dan 2 insinyur Roethlisberger dan Whitehead, yang memulai studi terkenal tentang Hawthorne Workes of the Western Electric Company. Berlawanan dengan harapan dari pendekatan “manajemen ilmiah”. Mereka menemukan bahwa bukan penerangan yang lebih baik, bonus tunai atau jeda istirahat yang meningkatkan moral pekerja dan produktivitasnya, melainkan mereka tidak terisolasi sebagai individu dan bisa bekerja bersama dalam kelompok.  Studi Hawthorne (Roethli-Berger dan Dictkson, 1939) menunjukkan secara meyakinkan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi lahiriah dan tingkat produksi. Secara khusus, penelitian menunjukkan bahwa tingkat produksi ditetapkan oleh norma-norma sosial kelompok dan bahwa penghargaan non-ekonomi dan sanksi ditentukan oleh kelompok sendiri lebih penting daripada bonus ekonomi. Secara keseluruhan, studi menunjukkan bahwa pekerja tidak bertindak sebagai individu, tetapi sebagai anggota kelompok.

  • Human Relations in Industry (Hubungan Manusia dalam Industri)

Studi Hawthorne menandakan dimulainya pendekatan Hubungan Manusia pada pekerja dalam industri, sebuah pendekatan yang dipropagandakan oleh Elton Mayo dan mendapat antusiasme dari manajemen di Amerika dan Inggris. Mayo meringkaskan pandangannya sebagai: “Kebutuhan akan apresiasi, keamanan, dan keramahan perusahaan lebih penting sebagai faktor dalam moral pekerja daripada upah dan kondisi fisikal”. Pendekatan ini, dengan konsentrasi pada elemen-elemen nonrasional dalam perilaku organisasi, kontras dengan pendekatan manajemen ilmiah, meskipun begitu berkembang menjadi sosiologi manajerial yang menekankan ‘hubungan manusia’ dan mengabaikan realitas ekonomi. Gardner membayangkan kemungkinan identifikasi komplit pekerja dengan organisasi yang mempekerjakannya—pekerja harus merasa bahwa tujuan perusahaan tergantung pada usahanya; mereka harus merasa menjadi bagian dari perusahaan dan bangga akan kontibusinya mencapai tujuan. Ini berarti tujuan perusahaan haruslah memberikan kepercayaan pada kehendak manajemen dan keyakinan bahwa setiap kemauan akan mendapat penghargaan dan kepuasan dengan bekerja pada tujuan ini (Gardner, 1945). Kritik terhadap pernyataan Gardner yaitu kegagalan dalam mengenali konflik antara manajemen dengan buruh adalah endemik dalam industri produksi massa karena sasaran manajemen dalam merasionalisasi produksi telah mengalienasi pekerja.

  • The Structuralist Approach (Pendekatan Strukturalis)

Dibangun oleh dua pemahaman akan pendekatan di atas, pendekatan strukturalis, berakar dari karya Weber dan Marx, mempertimbangkan aspek formal dan informal organisasi serta menyediakan analisis yang mengakui realitas benturan kepentingan dan menghindari kotornya sosiologi manajerial. Pendekatan strukturalis sekarang diadopsi oleh sebagian besar mahasiswa dalam organisasi untuk menyediakan kerangka kerja sama inklusif untuk belajar lebih dari tingkatan sekolah sebelumnya, dan diterapkan untuk berbagai organisasi lain dari bisnis dan ekonomi. Terutama Simon (1961) yang merupakan seorang mahasiswa yang mempelajari aspek formal rasional organisasi. Mereka membawa pandangan yang lebih luas ketika mempertimbangkan proses pengambilan keputusan dalam organisasi:

…organisasi mengacu pada pola komunikasi dan hubungan lainnnya yang kompleks dalam kelompok manusia. Pola ini memberikan banyak informasi kepada anggota kelompok mengenai  informasi, asumsi, tujuan, dan sikap yang masuk ke dalam keputusannya, dan juga menyajikan seperangkat ekspektasi yang teguh dan komprehensif atas apa yang dilakukan anggota lain dan bagaimana mereka bertindak pada perkataan dan perbuatannya.

  • Burreaucracy (Birokrasi)

Organisasi yang berkembang dari segi ukuran dan kompleksitasnya tentu akan menghadapi berbagai masalah. Tujuan, koordinasi, komunikasi menjadi lebih sulit dan banyak hal yang harus diurus. Metode informal dari komunikasi dan administrasi menjadi semakin tidak pantas, dan metode yang lebih formal, pola interaksi rasional pun menjadi sangat diperlukan. Dengan demikian, perkembangan dalam skala besar organisasi dalam pemerintahan akan diikuti peningkatan ukuran dan kompleksitasnya. Istilah “birokrasi” digunakan untuk menunjukkan ‘kepegawaian’ dan segala aspek yang tidak disenangi administrasi skala besar, tetapi secara sosiologis istilah tersebut tidak berarti pertimbangan nilai. Ini merujuk pada penyusunan kegiatan yang rasional dan jelas yang diarahkan untuk memenuhi tujuan organisasi. Max Weber (1947) menyatakan birokrasi memiliki karakteristik interrelasi tertentu yang berkontribusi pada pemeliharaan dan efisiensinya. Karakteristik ini termasuk hirarki posisi yang jelas dalam kantor yang masing-masing membawa tanggung jawab dan wewenang tertentu, pemilihan calon atas dasar kualifikasi teknis, adanya hukum dan aturan yang mengendalikan kinerja dari peran tiap jabatan, dan dan suatu struktur karir yang menyangkut keamanan ikatan dinas yang disediakan oleh peran-peran ini yang ditampilkan secara efisien.

  • Burreaucracy in Social Work (Birokrasi dalam Pekerjaan Sosial)

Pekerjaan sosial yang kini dijalankan terutama dalam organisasi ditandai dengan spesialisasi dan hirarki, mempunyai fungsi yang spesifik yang diatur oleh undang-undang ditambah hukum dan aturan yang mengarahkan sasaran dan metode pekerja sosial dalam berhubungan dengan kliennya. Agen pekerja sosial lebih banyak mempromosikan karir yang sifatnya supervisi/pengawasan; ini dipakai terutama untuk situasi kekurangan staf yang sangat mendesak, seperti jasa pengasuhan anak. Supervisi pada tingkat yang lebih rendah sangat dibutuhkan birokrasi, tapi dalam kasus pekerjaan sosial hal itu bertepatan dengan keyakinan akan nilai edukasi dalam supervisi.

Proses supervisi dalam pekerjaan sosial telah membangkitkan minat para sosiolog yang konsen pada organisasi pekerja sosial. Usulan telah dibuat bahwa supervisi, karena sering mengandung istilah edukasional dan pseudo-terapeutik, pada kenyataannya adalah metode manipulasi secara halus. Hal itu menegaskan bahwa pekerja sosial menggunakan teknik hubungan manusia untuk mengontrol murid dan bawahan dalam organisasi karena mereka enggan menggunakan wewenang langsung. Supervisor tersebut konsen pada karakteristik personal daripada kinerja yang diawasinya. Wilensky dan Lebeaux (1958) menulis:

Sejak sensitivitas pada unsur motivasi dan emosional dinyatakan pada klien—mungkin tujuan utama pelatihan pekerja sosial—harus didahului dengan kesadaran diri, murid harus mengalami sendiri pengalaman psikoterapeutiknya. Secara tekun, dia diminta bertanggungjawab atas perilakunya, tidak dalam istilah kognitif melainkan emosional—bukan “Apa yang Anda pikirkan?” tetapi “Apa yang Anda rasakan?”

Blau dan Scott (1963) melaporkan studinya tentang agen pekerja sosial, menunjukkan apa yang tampak pada supervisi yang demokratis mungkin saja manipulasi belaka:

Pekerja yang penilaiannya sering berbeda dengan supervisor akan dituduh ‘tidak mampu menerima supervisi’. Praktik menanyakan motif tidak sadar dari pekerja cenderung untuk menaikkan superordinat sebagai yang tahu segalanya. Pekerja menemukan bahwa mereka tidak bisa benar dengan ketidaksetujuan mereka kalau argumen mereka tidak diterima oleh nilai yang ada; melainkan dipecat sebagai bentuk rasionalisasi untuk menyembunyikan perlawanan yang tanpa sadar.

Tidak semua supervisi pekerjaan sosial berbentuk pseudo-terapeutik dan mungkin lebih menonjol pada pekerja sosial di Amerika daripada di Inggris. Dalam setting birokrasi, staf supervisi memiliki kontrol dan penggunaan wewenang langsung. Blau dan Scott telah meneliti dampak dari supervisi yang otoriter dalam studi mereka mengenai dua agen pekerjaan sosial. Supervisi yang otoriter didefinisikan sebagai supervisi yang ketat, tertutup dari anggapan kaku terhadap prosedur dan regulasi. Dampak dari gaya ini dibandingkan dengan gaya lain meliputi penurunan kepuasan pekerja sosial terhadap pekerjaannya, didikan atas kepedulian yang sempit dengan kelayakan klien daripada kebutuhan klien lebih bebas diinterpretasi, dan keengganan untuk menerima tanggung jawab. Supervisor tersebut tidak casework-orientated terhadap subordinatnya. Produktivitas tidak berhubungan dengan supervisi yang otoriter, tapi tidak ada ukuran dari kualitas yang didapatkan pekerjaan sosial. Karakteristik personal yang paling diapresiasi pekerja sosial dipisahkan dari emosional si supervisor—supervisor seperti ini memiliki pekerja sosial yang produktivitasnya tinggi.

  • Burreaucracy and Group Interaction (Birokrasi dan Interaksi Kelompok)

Perkembangan birokrasi dalam pekerjaan sosial memiliki manfaat dan mudarat dan percobaan untuk menilai hal ini dampaknya pada interaksi kelompok informal mesti dianggap sebaik struktur formal suatu agen. Seperti Donnison dan Chapman (1965) demonstrasikan dalam sejumlah studi mengenai perubahan organisasional, studi tersebut harus mengandung uji coba terlebih dahulu terhadap struktur organisasi, kedua bagaimana organisasi bekerja dari sudut pandang anggotanya, dan ketiga bagaimana organisasi bekerja dari sudut pandang si investigator.

Satu dampak besar dari birokrasi dalam pekerjaan sosial adalah adanya aktivitas yang dirutinkan yang mana aturan dan regulasi ditentukan oleh organisasi dan harus diikuti sehingga kinerja seorang klien dinilai layak tidaknya oleh aturan organisasi yang ada. Ini bukanlah hukum universal, tapi untuk tingkat yang menekankan kelayakan yang sempit akan tergantung sebagian pada interaksi kelompok informal dalam organisasi. Studi Blau dan Scott membedakan pekerja sosial yang ‘procedure-orientated’, yang terutama konsen memeriksa kelayakan klien, dan yang ‘service-orientated’ yang bertujuan untuk menyediakan pelayanan casework pada klien.

Saat memperhatikan pada interaksi kelompok dalam agen pekerja sosial seseorang akan berharap menemukan bahwa nilai yang menguasai kinerja anggota kelompok akan mempengaruhi perilaku anggota dalam konformitas terhadap nilai-nilai kelompok. Untuk menguji hipotesis ini, Blau dan Scott mencari bagaimana sikap kelompok dapat mempengaruhi kelakuan anggota apapun sikap pribadinya. Untuk melakukannya, investigator harus memisahkan dampak pengaruh eksternal tekanan kelompok dari pengaruh internal dari kepribadian individu, mengisolasi dampak strukutral kelompok pada perilaku individual. Dengan membandingkan pandangan umum di antara para pekerja sosial di beberapa seksi berbeda pada agen yang sama dengan pandangan individual dalam seksi-seksi ini, terlihat kalau sikap service-orientated merata dalam kelompok, maka pekerja sosial yang individual yang hanya memeriksa kelayakan pengalaman klien ditolak mentah-mentah dan ditekan untuk menyesuaikan dengan norma kelompok. Tekanan yang sama dilakukan mereka yang menyimpang yang meskipun service-orientated tapi agak didominasi procedure-orientated.

  • Specialisation in Social Work (Spesialisasi dalam Pekerjaan Sosial)

Spesialisasi fungsi memang merupakan bagian penting dalam birokrasi suatu organisasi karena pembagian kerja sangat esensial demi tercapainya efisiensi dan meningkatnya kemampuan pekerja. Namun, spesialisasi dapat menyulitkan suatu organisasi untuk menghindar dari kekakuan dan kadang spesialisasi bahkan tak mengindahkan kebutuhan manusia yang menjadi titik pangkal berdirinya organisasi. Klien harus memainkan peran yang timbal balik dengan pekerja sosial dalam agensi dan mencari penyelesaian yang cocok sesuai spesifikasi masalahnya. Orang tua mungkin merasa menuju Departemen Anak untuk meminta mereka mengasuh anak, sementara pada saat yang sama mereka menuju Klinik Bimbingan Anak untuk meminta perawatan pada anak, atau agen family-casework untuk membantu masalah perkawinannya.

  • The Professional in a burreaucracy (Profesional dalam sebuah Birokrasi)

Dampak organisasi birokrasi dalam praktik pekerjaan sosial akan mempengaruhi anggapan mengenai profesionalisme pekerja sosial itu sendiri. Ada petunjuk bahwa konflik dan ketegangan dalam organisasi berangkat dari orientasi loyalitas yang berbeda pada profesional dan administrator. Etzioni (1964) menulis:

…justifikasi akhir pada perilaku seorang profesional adalah perilaku yang benar. Dia mungkin berkonsultasi dengan koleganya sebelum bertindak, tapi keputusan tetap di tangannya. Jika ia salah, ia masih akan bertahan pada rekannya. Justifikasi akhir pada perilaku administratif segaris dengan aturan organisasi dan regulasi, dan hal itu telah diterima oleh pimpinan.

Perbedaan mendasar dari orientasi ini tampak sebagai hal yang biasa dalam semua struktur birokrasi dan tanggung jawab untuk resistansi profesional, seperti sebagai doktor dan pengacara, demi masuk ke dalam organisasi tersebut. Pengetahuan teknisnya membuat wewenang seorang profesional terbatas pada bidang tertentu dan ia menjadi tidak membutuhkan sanksi dari organisasi untuk mendukung keputusan profesionalnya. Seorang profesional merasa lebih homey dalam kelompok yang sama, seperti asosiasi profesi, dan kurang nyaman dalam strutktur hirarkial yang berkarakter birokrasi. Meskipun dari resistansi ini banyak perkembangan masyarakat yang mendorong tekanan pada birokratisasi profesi, membawa mereka memfungsikan organisasi impersonal berskala besar.

Pandangan mengenai struktur alami konflik antara administrator dan profesional ini menjadi rumit dan berubah ketika kita mengaplikasikannya pada pekerjaan sosial karena status profesinya yang tidak pasti. Pekerja sosial menjadi sensitif akan status profesinya, sangsi dan dan merasa tidak aman. Seorang dosen pekerjaan sosial Amerika menjelaskan:

Pekerja sosial mengeluarkan usaha yang banyak dalam mengidentifikasi karakteristik yang membedakan profesi mereka dengan profesi lain.  Di satu sisi, mereka menunjukkan rasa hormat yang berlebihan pada dokter, psikiatris, sosiolog, dan antropolog; di sisi lain mereka memperlihatkan provinsialisme sempit dalam bidang dan pendidikan mereka. Provinsialisme profesi ini bersifat ofensif pada sarjana dan profesional lain pada umumnya. Semua merasakan ketidakamanan karenanya.

Klaim status profesi pekerja sosial berhadapan dengan fakta bahwa orang yang tidak dilatih menampilkan kerja yang sama layaknya pekerja sosial profesional, misalnya dalam lapangan pengasuhan dan hukuman percobaan anak. Maka sulit bagi pekerja sosial profesional terlatih untuk menunjukkan kelebihan kemampuan/kemampuannya dengan mereka yang tidak terlatih. Karena alasan ini dan lainnya kebanyakan sosiolog melihat pekerjaan sosial sebagai semi-profession dan konsekuensinya lebih terbuka pada birokratisasi. Di sisi lain, cita-cita pekerjaan sosial untuk mendapatkan status profesional berpotensi menjadi konflik yang inheren dalam organisasi hirarkial berskala besar.

  1. Organisational Loyalty (Loyalitas Organisasional)

Salah satu area yang menjadi tempat terjadinya konflik antara pekerja sosial dengan administratornya adalah pada loyalitas terhadap organisasi tersebut. Pekerja sosial yang memiliki pengalaman yang banyak atau pendidikan yang tinggi di bidang kesejahteraan sosial cenderung lebih loyal terhadap pekerjaannya. Tetapi mereka terkadang lebih tidak setia kepada organisasi tempat dia bernanung. Selama ada organisasi yang membayar lebih besar maka pekerja sosial tersebut akan berpindah organisasi. Mereka lebih bertanggung jawab terhadap hasil kerja mereka bukan dari tujuan organisasi tersebut.  Mereka cenderung berpindah-pindah organisasi daripada pekerja sosial yang tidak professional atau yang tidak memilki pengalaman cukup; mereka lebih setia terhadap organisasinya dari pada pekerja sosial profesional. Terkadang terjadi perbedaan antara administrator organisasi dengan pekerja sosial yang bekerja di dalamnya. Mereka cenderung berbeda dalam tujuannya.

  • Evaluation and Decision-Making (Evaluasi dan Pembuatan Keputusan)

Di dalam pelayanan sosial, mereka yang disebut sebagai administrator umumnya memfokuskan diri kepada hasil sedangkan para pekerja professional berfokus kepada “berbuat sesuatu” dengan cara yang professional. Tentu saja dengan hasil yang dinilai dengan cara yang berbeda dengan administrator. Dalam hal yang lain, administrator bersama dengan pekerja sosial yang tidak terlatih mungkin lebih terbuka dalam mengatasi masalah dibandingkan dengan para pekerja sosial profesional yang lebih berpengalaman, terlatih, dan terpaku kepada konsep-konsep lama. 

            Sejarah pekerja sosial saat ini adalah hasil dari para pekerja sosial tempo dulu yang sebagian dari mereka bukan berasal dari kalangan profesional dan tidak berpengalaman menangani suatu kasus. Beberapa tindakan (dalam konteks pekerja sosial) yang pernah dilakukan adalah penafsiran perilaku verbal klien, yang diberi status sosial yang tinggi dalam profesi ini, sementara tindakan lain, seperti penyediaan saran berwibawa, diberi status rendah.

            Beberapa penulis pekerjaan sosial telah memberikan pembenaran retrospektif teoritis untuk apa yang dilakukan pekerja sosial non-profesional dahulu. Irvine (1956) menyebutkan bahwa tindakan otoritatif dan suportif pekerja sosial harus dilihat sebagai permainan peran dan secara teoretis berarti teknik promosi berbasis wawasan yang diterima terutama dalam literatur casework yang berorientasi psikologis. Perhatian pekerja sosial pada perilaku profesional dan hasilnya didefinisikan sebagai emosi terhadap klien layaknya kebutuhan lahiriah yang menyediakan perlindungan pada kewarganegaraan individu berkaitan dengan pelayanan sosial yang kaku dan berdasarkan kelayakan. Sayangnya pekerja sosial tidak mampu bertahan dalam menciptakan solusi atas masalah birokrasi.

            Permasalahan yang umum dihadapai oleh sebuah organisasi besar adalah keterlibatan pemerintah atau otoritas yang menaunginya. Tentunya dengan sistem hirarki yang umumnya ada pada otoritas semacam mereka. Pekerja profesional yang lebih berorientasi ke sosial semakin ia ingin memiliki tanggung jawab untuk membuat keputusan yang dianggap berada di daerah kompetensi profesional. Maka semakin banyak potensi munculnya gesekan terkait mekanisme, tujuan dan hal-hal teknis lainnya. Contohnya adalah departemen-departemen pelayan sosial skala besar milik pemerintah sulit membedakan antara kepentingan yang sah dari administrator dan kepentingan pekerja social secara umum yang menjadi penggerak di level pengambil keputusan. Perlu diketahui, pekerja sosial lebih mengetahui permasalahan klien lebih mendalam, tidak hanya sebatas pada permasalahan financial dan administratif.

Keputusan untuk menolak bantuan materi diberikan apakah dalam derajat profesional (apakah hal ini adalah kepentingan klien yang utama?), hukum (apakah ini ada dalam UU), finansial (apakah hal ini dibatasi oleh Komite Finansial?), atau politik (apakah evaluator akan membayar?)? Yang jelas, semua faktor ini diharapkan memainkan peran dalam pengambilan keputusan seseorang dan konflik bisa diselesaikan dengan pertimbangan dan penafsiran akan fakta-fakta yang ada. Solusi birokratis atas masalah ini adalah setuju menyerahkannya pada administrasi, dan dalam suatu Departemen Anak terbesar di suatu negara semua keputusan mengenai pemberian materi dan bantuan finansial dibuat oleh satu orang, yaitu direktur. Jangkauan yang pekerja sosial terima sebagai solusi, mungkin dengan rasio yang berkebalikan dengan orientasi profesional mereka.

  • Burreaucracy and Personality (Birokrasi dan Kepribadian)

            Dalam buku Struktur Birokrasi dan Kepribadian (1957), Merton menyebutkan bahwa karakteristik kepribadian seseorang dalam pekerjaan tertentu muncul sebagai respons terhadap tekanan yang struktural berbeda yang dijumpai pada kerja-kerja yang spesifik. Dalam meneliti disfungsi birokrasi, Merton menjelaskan tekanan pada buruh dalam organisasi berskala besar mendorong mereka berperilaku ‘birokratis’. Pandangan mengenai perilaku birokratis ini didukung oleh tendensi pekerja sosial untuk melihat konflik dengan administrator sebagai pribadi yang lain, tapi berhubungan dengan faktor struktural yang bekerja dalam organisasi. Jika organisasi berjalan secara efisien, maka akan dapat mencapai tingkat realibilitas staf yang tinggi sehingga mereka dapat beradaptasi dengan corak dan aturan organisasi. Maka suatu hal yang wajar jika kepala dalam agen pekerjaan sosial manapun mengajari berulang-ulang tentang sikap staf yang benar yang meningkatkan perasaan loyal pada organisasi. Jenjang karir dan promosi dalam organisasi pekerja sosial akan tergantung pada kemampuan menerima wewenang dan pemahaman realistis mengenai batasan kerja. Dengan begini, pekerja sosial profesional menunjukkan hambatan eksternal dalam promosi sementara pekerja sosial yang tidak mampu bertahan di bawah tekanan birokrasi mengalihkan sasaran mereka pada tujuan untuk mencapai dan mengembangkan karakter yang kaku.


Tinggalkan komentar